[Series Review] We Bare Bears (2014)
from fanart.tv |
To be honest, I’m currently in my
early 20s and I have to admit that I still love watching cartoon. Bagi saya, kartun lama-lama bukan
sekadar tontonan anak-anak: ada sesuatu yang ringan dan segar dari kartun yang
nggak bisa didapatkan dari media hiburan yang lainnya. Dan We Bare Bears ini salah satunya.
Saya
masih ingat “perkenalan” saya dengan tiga beruang lucu ini: nggak sengaja
nonton video singkat di linimasa LINE yang menampilkan mereka bertiga, dan
salah satunya berbicara bahasa Korea. Saya pikir, wah, kok lucu juga ya. Long story short, saya menemukan serial
ini pertengahan tahun 2018 dan mulai menonton serialnya lewat streaming, karena... nggak punya
fasilitas TV kabel, huhu.
from youtube.com |
Selain
mereka bertiga, ada beberapa karakter lain dalam kartun ini, seperti Charlie si
Big Foot yang takut pada manusia, Chloe Park yang jenius dan sudah kuliah despite usianya yang masih sangat muda,
Ranger Tabes si penjaga dan penjelajah hutan, Nom Nom si koala angkuh, dan
masih banyak lagi.
Dari
segi cerita, menurut saya sangat simpel dan dekat dengan kehidupan sehari-hari
kita, jadi sangat relatable. Permasalahan
yang diangkat dalam tiap episodenya juga kebanyakan terinspirasi dari apa yang
ada sekarang ini: ingin viral di Internet, kebiasaan online dating, berebut game yang
baru rilis, persaingan mencari pekerjaan, sulitnya mencari teman baru, perjuangan
untuk diet, dan lain-lain. Bukan cerita yang kompleks dan di luar nalar yang
bikin kita mengernyit, tapi cerita sederhana yang mudah dipahami dan bikin kita
tertawa karena kita paham apa yang dirasakan para beruang itu.
Oiya, selain cerita utama soal kehidupan para beruang tersebut, terkadang kita disuguhi cerita tentang masa kecil mereka (people call them baby bears). Episode-episode selingan ini bercerita tentang latar belakang masing-masing beruang sebelum bertemu satu sama lain: Grizz yang diselamatkan pemadam kebakaran, Panda yang hidup terisolasi dari dunia luar, dan Ice Bear yang di”adopsi” oleh orang Kutub (namanya apa sih? Saya nggak ngerti huhu). Ada juga cerita soal mereka bertiga yang berusaha mencari seseorang untuk mengadopsi mereka. Segmen baby bears ini gemes banget pokoknya!
Di
atas tadi, saya sempat menyinggung soal Asian
influence yang ada dalam We Bare
Bears. Hal ini jadi salah satu poin utama yang bikin saya jatuh cinta
dengan kartun ini, because being an Asian
myself, ada banyak hal yang rasanya dekat dengan diri saya sendiri.
Misalnya saja, karena sahabat ketiga beruang itu, Chloe Park, adalah orang
Korea, jadi terkadang kita melihat orangtua Chloe berbicara bahasa Korea dan
melihat keluarga Chloe yang makan dengan kebiasaan orang Korea pada umumnya.
Selain itu, Panda yang suka nonton anime dan
bahkan punya imaginary girlfriend dalam
bentuk body pillow bernama Miki-chan
juga bikin saya tertawa karena mengingatkan saya pada fenomena pecinta Japanese pop culture. Ada juga Ice Bear
yang sempat bekerja jadi koki di restoran teppanyaki,
restoran ala Jepang. Terkadang, ketiga beruang tersebut juga hobi nongkrong
di kafe yang menyajikan boba tea atau
bubble tea, minuman teh dengan tapioca pearls yang berasal dari Taiwan
dan ngehits banget di mana-mana, termasuk Indonesia. Oiya, kadang ada influence atau reference musik K-Pop juga, lho.
Oiya, selain cerita utama soal kehidupan para beruang tersebut, terkadang kita disuguhi cerita tentang masa kecil mereka (people call them baby bears). Episode-episode selingan ini bercerita tentang latar belakang masing-masing beruang sebelum bertemu satu sama lain: Grizz yang diselamatkan pemadam kebakaran, Panda yang hidup terisolasi dari dunia luar, dan Ice Bear yang di”adopsi” oleh orang Kutub (namanya apa sih? Saya nggak ngerti huhu). Ada juga cerita soal mereka bertiga yang berusaha mencari seseorang untuk mengadopsi mereka. Segmen baby bears ini gemes banget pokoknya!
from turner.com |
Ngomongin
kartun rasanya kurang kalau nggak ngomongin art
style dari kartunnya sendiri. Art
style juga yang bikin saya suka dengan kartun ini. Nah, We Bare Bears punya art style yang sederhana dan mudah digambar ulang kalau mau bikin fan art. Penggambaran para beruangnya
pun simpel dan jatuhnya gemes abis, dan karakter-karakter manusia di sekeliling
mereka juga digambarkan sangat diverse:
you name any skin tone, shade, hair
color, hair style, fashion style, they have it all. Buat saya sih cukup
menarik, apalagi buat orang-orang di luar sana yang kebanyakan menuntut diversity di mana-mana—auto jatuh cinta
deh.
In conclusion, We Bare Bears offers a fresh and light watching experience. Cerita per episodenya yang tidak bersambung secara kronologis membuat kita bisa memulai nonton serial ini dari mana saja. Buat saya, cerita yang ringan dan relatable, karakter-karakter yang lucu, dan Asian influence yang ada membuat kartun ini layak ditonton sebagai hiburan ringan. You’ll be entertained, I promise.
In conclusion, We Bare Bears offers a fresh and light watching experience. Cerita per episodenya yang tidak bersambung secara kronologis membuat kita bisa memulai nonton serial ini dari mana saja. Buat saya, cerita yang ringan dan relatable, karakter-karakter yang lucu, dan Asian influence yang ada membuat kartun ini layak ditonton sebagai hiburan ringan. You’ll be entertained, I promise.
Final
score: 9/10
0 comments