Powered by Blogger.

[Film Review] Aquaman (2018): The Hero We Finally Deserve

by - December 15, 2018

from @batmannewscom on Twitter

Salah satu superhero yang dianggap underrated ini akhirnya punya film solonya sendiri. Banyak yang menaruh harapan tinggi pada film ini gara-gara nama besar sang sutradara, tapi apakah harapan itu sepadan dengan film sesungguhnya?

Setahun yang lalu, saya menonton Justice League (2017) di bioskop. Saya cukup menikmati ceritanya walaupun agak bingung di sana-sini karena saya tidak begitu familiar dengan dunia superhero DC selain The Holy Trinity Superman, Batman, dan Wonder Woman, dan to be honest, saya jengkel dengan penggunaan CGI-nya yang menurut saya bikin sakit mata—apalagi waktu adegan klimaksnya. Bahkan menurut saya, satu-satunya adegan yang paling memorable adalah opening sequence-nya. Yaa, saya mungkin terlalu subjektif, tapi masalah selera siapa yang bisa menentukan, ya kan?

Membaca beberapa review Justice League yang berseliweran di internet, banyak yang menyebut bahwa kehadiran beberapa hero di film tersebut sebenarnya malah terkesan dipaksakan—salah satunya ya Aquaman itu. Saya sendiri juga tidak merasakan kesan apapun terhadap manusia air tersebut setelah menonton Justice League, seakan karakter ini cuma numpang lewat saja.

Fast forward, waktu saya tahu bahwa Aquaman akan dibuatkan film solonya, sebenarnya saya tidak begitu tertarik karena alasan yang di atas tadi: saya tidak begitu familiar dengan DC, ditambah rasanya nggak seru saja kalau nonton film berbasis komik tapi nggak ngerti references-nya, hehe. Tapi begitu mendengar bahwa James Wan bakal duduk di kursi sutradara, saya langsung mikir, “Ow, that’s kinda promising!” Saya sudah menggemari karya sutradara berdarah Malaysia ini sejak menonton The Conjuring (2013), dan saya tahu film-filmnya selalu hit. So I thought to myself, maybe I’ll give it a chance. Dan saya penasaran, bakal gimana jadinya kalau sutradara spesialis horor menyutradarai film superhero.

So, here I am, watching Aquaman right on the premiere day in Indonesia. Sebelum menonton, saya sudah mencari-cari sedikit trivia film ini di IMDb dan bertanya ke teman yang mengikuti komik DC supaya tidak bingung di dalam bioskop. Singkat cerita, film ini sebagian besar terjadi pasca-Justice League, ditambah sedikit origin story dari Arthur Curry si Aquaman sendiri. Ceritanya sederhana saja: Arthur (Jason Momoa) yang sebelumnya hidup nyaman bersama ayahnya yang seorang penjaga mercusuar tiba-tiba “dipaksa” kembali ke Atlantis—tempat asal ibunya Queen Atlanna (Nicole Kidman)—oleh Mera (Amber Heard) demi merebut tahta dari King Orm (Patrick Wilson) yang berniat menyatakan perang terhadap surface world alias dunia permukaan yang kita tinggali ini.

from syfy.com

Menurut saya, salah satu kekuatan utama film ini ada di visualnya! Saya yang sebelumnya agak bosan dengan tone dark dari film DCEU sempat takut film ini bakal mengikuti jejak yang sama, apalagi sebagian besar adegannya bakal ada di bawah air. Yaa, walaupun jadi sedikit optimis berkat Wonder Woman (2017). Dan benar saja, baru beberapa menit filmnya berjalan, saya langsung terpesona melihat visual style film ini: adegan fighting yang diambil dalam satu take, transisi antar-adegan yang cantik dan smooth, permainan warna dan lighting yang enak di mata, semuanya bikin saya langsung jatuh cinta. CGI-nya juga nggak jelek-jelek amat (even though you can still clearly tell that it was CGI), dan adegan bawah airnya nggak terasa lame sama sekali. Malahan, di beberapa adegan rasanya saya seperti masuk ke dalam akuarium raksasa, haha.

Dari segi jajaran aktor dan kualitas aktingnya, menurut saya sebenarnya biasa saja, dalam artian aktingnya tidak bagus banget, tapi juga tidak jelek banget. Cukup bisa dinikmati. Meskipun begitu, saya tetap harus memuji Jason Momoa yang bisa membawakan karakter Arthur Curry/Aquaman dengan baik. Walaupun kadang suka menyelipkan humor di sana-sini, tapi karakternya cukup terlihat keren dan powerful, tidak konyol sampai bikin tepuk dahi. Amber Heard di sini terlihat lebih tangguh dan aura cantiknya lebih keluar dibandingkan saat muncul di Justice League. Saya sudah ngefans dengan aktris satu ini sejak The Danish Girl (2015) dan dia adalah salah satu alasan saya menonton Aquaman. Oiya, chemistry antara Jason Momoa dan Amber Heard sangat terasa di film ini, sampai-sampai beberapa review dan komentar yang saya baca di internet menyebut kalau mereka berdua ini salah satu pasangan fiktif yang paling serasi. Saya setuju sih, they looked so cool together :D

from imdb.com

Selain Jason Momoa dan Amber Heard, saya juga tertarik melihat performa Willem Dafoe dan Patrick Wilson. Dulu, saya pertama kali mengenal Willem Dafoe sebagai Green Goblin di Spider-Man (2002) dan rasanya menyenangkan melihat dirinya kembali ke ranah film superhero dengan karakter yang bertolak belakang. Di Aquaman, alih-alih jadi tokoh antagonis yang creepy, Dafoe berperan sebagai Vulko, penasihat kerajaan Atlantis sekaligus mentor Arthur Curry yang cool abis. Meskipun performanya bagi saya terkesan biasa saja dan tidak begitu menonjol, saya sendiri cukup menikmatinya. Ada saat-saat di mana saya takut bakal ada plot twist dan hal buruk bakal terjadi pada Vulko, tapi untungnya tidak. I breathed a sigh of relief.

Sementara itu, Patrick Wilson ini sepertinya memang jadi langganan James Wan sejak Insidious (2010)—kalau tidak salah, hehe. Alih-alih jadi protagonis, kali ini Wilson didapuk memerankan King Orm si antagonis. Lagi-lagi, menurut saya karakternya agak lame dan kurang tangguh kalau dihadapkan dengan Arthur Curry, tapi entah kenapa saya mendapat kesan intimidating dari King Orm. It felt like I don’t want to mess with this guy. Dan bagi saya, performanya cukup bagus, so I can tell that he did his job good. Ngomong-ngomong, saya nggak bisa komentar apa-apa soal Nicole Kidman yang berperan sebagai Queen Atlanna karena sebagai aktris peraih Oscar, kualitas aktingnya sudah nggak perlu diragukan lagi: she played her part brilliantly and looked so badass even though people said that she’s too young to portray Queen Atlanna.

Setelah aspek visual dan aktor, gimana dengan ceritanya sendiri? Well, menurut saya jalan ceritanya cukup mudah dimengerti dan disusun dengan rapi, jadi nggak begitu membingungkan. Tapi yaa, karena saya awam dengan DC let alone Aquaman, ada beberapa hal yang menurut saya kurang dijelaskan dengan baik di filmnya: misalnya perkenalan Arthur dengan Vulko yang rasanya agak melompat-lompat alurnya. Kalau kamu memang mengikuti komiknya, mungkin kamu nggak perlu penjelasan lewat film, and that’s fine. Selain humor-humor yang ringan dan nggak cringey, ada juga ciri khas James Wan yang nggak luput diselipkan dalam film: jumpscare! Yap, seriusan nih. Beneran deh, kali ini jumpscare-nya bukan tipikal jumpscare film horor yang gampang ditebak, tapi jumpscare yang nggak terduga sama sekali dan sukses bikin saya kaget dan misuh-misuh. Ditambah audio bioskop yang menggelegar... LOL.

 In conclusion, menurut saya James Wan berhasil mengangkat “derajat” Aquaman: dari yang awalnya diremehkan dan dianggap numpang lewat di Justice League menjadi seorang superhero tangguh dan keren abis. Film ini lagi-lagi jadi pembuktian bahwa James Wan adalah salah satu sutradara top Hollywood yang multitalenta dan harus diperhitungkan. Ya, memang masih ada beberapa kekurangan, tapi itu tidak mengurangi kesenangan saya selama menonton film ini. Breathtaking, visually stunning, and definitely entertaining, film ini bisa masuk daftar nonton buat mengisi liburan akhir tahun. Go watch it!

Final score: 9/10

P.S.: Buat calon penonton di Indonesia, mungkin bakal kecewa gara-gara salah satu adegan terbaiknya di-cut sama LSF. Tapi tenang aja, nggak bakal mengganggu jalan cerita, kok!

You May Also Like

0 comments