Powered by Blogger.

[Film Review] Venom (2018): Mediocre, yet Enjoyable

by - October 22, 2018

from thebeardedtrio.com

Saya pertama kali mengenal karakter Marvel ini lewat Spider-Man 3 (2007). Waktu itu, saya yang nggak pernah baca komiknya saja beranggapan kalau Venom itu lumayan terrifying. For me, he’s kind of the evil version of Spider-Man. Dengan tubuh besar, taring-taring tajam, dan kemampuannya untuk “bersarang” di tubuh makhluk lain... siapa sih yang nggak merinding kalau melihatnya?

Fast forward ke sebelas tahun kemudian, waktu saya tahu kalau Marvel (in this case, Sony) berencana untuk membuat film solo Venom, yang pertama kali saya pikirkan adalah, “What?” Ya, saya akui sih, saya memang nggak familiar dengan komiknya dan hanya mengikuti Marvel lewat film-filmnya (dan kadang nanya teman yang lebih tahu), tapi saya agak gimana gitu melihat tokoh antagonis (atau anti-hero?) dijadikan tokoh utama. Di sisi lain, saya juga penasaran bagaimana dia bakal diceritakan. Apakah bakal bagus, biasa-biasa saja, atau malah flop? Lanjut baca review saya, ya.

(Warning: spoiler alert!)

Venom bercerita tentang Eddie Brock (Tom Hardy), seorang jurnalis investigasi yang di awal film diceritakan sedang menyelidiki kasus kematian yang disembunyikan oleh Life Foundation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bioteknologi. Carlton Drake (Riz Ahmed), bos Life Foundation, awalnya menanggapi Eddie dengan baik ketika sang jurnalis bertanya soal hal-hal yang umum seperti bagaimana sang bos menjalankan perusahaannya dan apa saja misi terbaru dari Life Foundation. Kemudian, ketika Eddie mulai menanyakan hal-hal yang menjurus pada kematian orang-orang yang tengah disembunyikan Life Foundation, Drake menolak untuk menjawabnya dan mengusir Eddie. Akibatnya, Eddie dipecat dari pekerjaannya dan terpaksa putus dengan tunangannya, Anne Weying (Michelle Williams), dari mana ia mendapatkan informasi tentang rahasia Life Foundation. Ia pun menganggur.

Enam bulan kemudian, Eddie diajak untuk bekerjasama dengan Dora Skirth (Jenny Slate), seorang karyawan Life Foundation yang cemas dengan eksperimen yang dilakukan oleh Drake. Skirth menjelaskan bahwa selama ini Drake tengah menjalankan eksperimen untuk menyatukan symbiote (organisme yang didapatkan dari misi luar angkasa Life Foundation yang diceritakan di awal film) dengan manusia. Eksperimen ini melibatkan para tunawisma di San Francisco, yang kebanyakan selalu gagal dan berakhir dengan kematian si kelinci percobaan. Ketika Eddie menyelinap masuk ke dalam Life Foundation, ia tidak sengaja terkena symbiote sewaktu berusaha untuk menyelamatkan tunawisma yang ia kenal. Symbiote inilah yang nantinya akan menjadi Venom bersama Eddie.

from imdb.com
Membaca beberapa review yang berseliweran di Internet, banyak yang bilang kalau proses build-up menuju bersatunya Eddie dan si symbiote agak lamban. Namun bagi saya, porsinya cukup pas, karena begitu Eddie sudah terpapar symbiote, tensi dan pace film langsung naik. Kita langsung disuguhi banyak adegan action seperti kejar-kejaran dan baku hantam antara Eddie dan para pria suruhan Drake.

Di sisi lain, menurut saya entah kenapa adegan fighting yang ada di film ini kurang satisfying. Mungkin karena pergantian kamera yang begitu cepat atau transisi gambar yang kurang smooth, yang kadang bikin saya agak pusing karena merasa tidak bisa menangkap apa yang terjadi. Untuk tingkat kebrutalan film ini sendiri, well... memang tidak begitu berdarah-darah dan eksplisit seperti Deadpool (2016) atau Logan (2017), karena rating film ini sendiri yang PG-13, tidak seperti ekspektasi awal orang-orang yang mengharapkan Venom diberi rating R agar adegan sadisnya maksimal. Jadi rasanya ada sesuatu yang agak “nanggung” dalam adegan-adegan action-nya, walaupun sebenarnya sudah lumayan. Untuk sinematografi dan tone dalam filmnya, bagi saya cukup nyaman di mata—but get ready for a lot of dark scenes because most of the scenes in the film happens at night.

Beralih ke performa para aktornya, bagi saya mereka bisa menampilkan performa yang baik. Tom Hardy yang didapuk menjadi sang tokoh utama menurut saya cukup ciamik dalam menampilkan sosok Eddie Brock yang kritis dan sangat ingin tahu, khas jurnalis. Selain itu, ia juga mampu menampilkan akting sedih, galau, takut, marah, dan sedikit rapuh dengan baik. Oscar-worthy actor he really is! Satu-satunya yang agak kurang “nendang” bagi saya adalah unsur humornya yang sedikit bikin cringe—walaupun sebenarnya guyonan Eddie tidak jelek-jelek amat. Performanya sebagai Venom beberapa kali bikin saya ternganga: penampakannya yang besar menjulang, suaranya yang deep dan bikin merinding (FYI, Hardy sendiri yang mengisi suara Venom—kalau nggak salah—dan menurut saya suaranya keren abis!), dan kemampuannya menguasai pikiran dan tubuh Eddie yang kadang membuat saya berpikir, I’m grateful that I’ll never experience something as terrifying as that.

from film-book.com
Sedangkan di jajaran supporting actor and actresses, Michelle Williams juga menampilkan performa yang lumayan, meskipun bagi saya tidak ada kesan khusus yang tertinggal selepas menonton filmnya. Either way, I’ve been loving her since The Greatest Showman and I’m sure she’s a talented actress. Riz Ahmed yang berperan jadi sang villain (atau antagonis ya?) juga cukup meyakinkan walaupun karakternya bisa dikatakan agak datar. Tapi bagi saya, Riz Ahmed bisa menampilkan karakter yang dingin dan kaku dengan baik. I think I have found another British actor crush! Hahaha.

In conclusion, buat saya yang nggak tahu apa-apa soal original source dari film ini alias komiknya, cerita yang dibawa dalam film ini lumayan enjoyable. Bagi saya, prinsip menonton film-film superhero tuh cuma satu: saya nonton buat hiburan semata. Jadi, walaupun mungkin banyak kritik-kritik pedas soal Venom di Internet, menurut saya film ini tidak jelek, tapi tidak bagus banget juga. Cocok buat hiburan ringan kalau lagi penat—kayak saya. Hehe. Just enjoy the film dan jangan dibawa terlalu serius, oke?


Final score: 7/10

You May Also Like

0 comments