from thebeardedtrio.com |
Saya
pertama kali mengenal karakter Marvel ini lewat Spider-Man 3 (2007). Waktu itu,
saya yang nggak pernah baca komiknya saja beranggapan kalau Venom itu lumayan terrifying. For me, he’s kind of the evil
version of Spider-Man. Dengan tubuh besar, taring-taring tajam, dan
kemampuannya untuk “bersarang” di tubuh makhluk lain... siapa sih yang nggak
merinding kalau melihatnya?
Fast forward ke sebelas tahun kemudian, waktu saya
tahu kalau Marvel (in this case, Sony)
berencana untuk membuat film solo Venom, yang pertama kali saya pikirkan
adalah, “What?” Ya, saya akui sih,
saya memang nggak familiar dengan komiknya dan hanya mengikuti Marvel lewat
film-filmnya (dan kadang nanya teman yang lebih tahu), tapi saya agak gimana
gitu melihat tokoh antagonis (atau anti-hero?)
dijadikan tokoh utama. Di sisi lain, saya juga penasaran bagaimana dia
bakal diceritakan. Apakah bakal bagus, biasa-biasa saja, atau malah flop? Lanjut baca review saya, ya.
Venom bercerita tentang Eddie Brock
(Tom Hardy), seorang jurnalis investigasi yang di awal film diceritakan sedang
menyelidiki kasus kematian yang disembunyikan oleh Life Foundation, sebuah
perusahaan yang bergerak di bidang bioteknologi. Carlton Drake (Riz Ahmed), bos
Life Foundation, awalnya menanggapi Eddie dengan baik ketika sang jurnalis bertanya
soal hal-hal yang umum seperti bagaimana sang bos menjalankan perusahaannya dan
apa saja misi terbaru dari Life Foundation. Kemudian, ketika Eddie mulai
menanyakan hal-hal yang menjurus pada kematian orang-orang yang tengah
disembunyikan Life Foundation, Drake menolak untuk menjawabnya dan mengusir
Eddie. Akibatnya, Eddie dipecat dari pekerjaannya dan terpaksa putus dengan
tunangannya, Anne Weying (Michelle Williams), dari mana ia mendapatkan
informasi tentang rahasia Life Foundation. Ia pun menganggur.
Enam
bulan kemudian, Eddie diajak untuk bekerjasama dengan Dora Skirth (Jenny
Slate), seorang karyawan Life Foundation yang cemas dengan eksperimen yang
dilakukan oleh Drake. Skirth menjelaskan bahwa selama ini Drake tengah
menjalankan eksperimen untuk menyatukan symbiote
(organisme yang didapatkan dari misi luar angkasa Life Foundation
yang diceritakan di awal film) dengan manusia. Eksperimen ini melibatkan para
tunawisma di San Francisco, yang kebanyakan selalu gagal dan berakhir dengan
kematian si kelinci percobaan. Ketika Eddie menyelinap masuk ke dalam Life
Foundation, ia tidak sengaja terkena symbiote
sewaktu berusaha untuk menyelamatkan tunawisma yang ia kenal. Symbiote inilah yang nantinya akan
menjadi Venom bersama Eddie.
from imdb.com |
Di
sisi lain, menurut saya entah kenapa adegan fighting
yang ada di film ini kurang satisfying.
Mungkin karena pergantian kamera yang begitu cepat atau transisi gambar
yang kurang smooth, yang kadang bikin
saya agak pusing karena merasa tidak bisa menangkap apa yang terjadi. Untuk
tingkat kebrutalan film ini sendiri, well...
memang tidak begitu berdarah-darah dan eksplisit seperti Deadpool (2016) atau Logan (2017), karena rating film ini
sendiri yang PG-13, tidak seperti ekspektasi awal orang-orang yang mengharapkan
Venom diberi rating R agar adegan
sadisnya maksimal. Jadi rasanya ada sesuatu yang agak “nanggung” dalam adegan-adegan
action-nya, walaupun sebenarnya sudah
lumayan. Untuk sinematografi dan tone dalam
filmnya, bagi saya cukup nyaman di mata—but
get ready for a lot of dark scenes because most of the scenes in the film
happens at night.
Beralih
ke performa para aktornya, bagi saya mereka bisa menampilkan performa yang
baik. Tom Hardy yang didapuk menjadi sang tokoh utama menurut saya cukup ciamik
dalam menampilkan sosok Eddie Brock yang kritis dan sangat ingin tahu, khas
jurnalis. Selain itu, ia juga mampu menampilkan akting sedih, galau, takut,
marah, dan sedikit rapuh dengan baik. Oscar-worthy
actor he really is! Satu-satunya yang agak kurang “nendang” bagi saya
adalah unsur humornya yang sedikit bikin cringe—walaupun
sebenarnya guyonan Eddie tidak jelek-jelek amat. Performanya sebagai Venom beberapa
kali bikin saya ternganga: penampakannya yang besar menjulang, suaranya yang deep dan bikin merinding (FYI, Hardy sendiri yang mengisi suara
Venom—kalau nggak salah—dan menurut saya suaranya keren abis!), dan
kemampuannya menguasai pikiran dan tubuh Eddie yang kadang membuat saya berpikir,
I’m grateful that I’ll never experience
something as terrifying as that.
from film-book.com |
Sedangkan
di jajaran supporting actor and
actresses, Michelle Williams juga menampilkan performa yang lumayan,
meskipun bagi saya tidak ada kesan khusus yang tertinggal selepas menonton
filmnya. Either way, I’ve been loving her since The Greatest
Showman and I’m sure she’s a talented actress. Riz Ahmed yang berperan jadi
sang villain (atau antagonis ya?)
juga cukup meyakinkan walaupun karakternya bisa dikatakan agak datar. Tapi bagi
saya, Riz Ahmed bisa menampilkan karakter yang dingin dan kaku dengan baik. I think I have found another British actor
crush! Hahaha.
In conclusion, buat
saya yang nggak tahu apa-apa soal original
source dari film ini alias komiknya, cerita yang dibawa dalam film ini
lumayan enjoyable. Bagi saya, prinsip
menonton film-film superhero tuh cuma satu: saya nonton buat hiburan semata.
Jadi, walaupun mungkin banyak kritik-kritik pedas soal Venom di Internet, menurut saya film ini tidak jelek, tapi tidak
bagus banget juga. Cocok buat hiburan ringan kalau lagi penat—kayak saya. Hehe.
Just enjoy the film dan jangan dibawa
terlalu serius, oke?
Final score: 7/10
0 comments