Powered by Blogger.

Pandemi dan Buku: Adaptasi Kehidupan, Kebiasaan, dan Pemikiran

by - April 28, 2021


Aku tengah berdiri di antara rak-rak buku di toko buku Gramedia. Buku-buku berwarna-warni yang masih disegel plastik berderet rapi di rak, menunggu calon pemilik baru untuk membawa mereka pulang. Aku mengambil sebuah buku dan membaca sinopsisnya. Menggeleng, aku mengembalikan buku tersebut ke raknya.

Aku berpindah rak. Mengambil buku lain, membaca sinopsisnya. Menghela napas, aku mengembalikan buku tersebut. Tanganku bergeser ke buku sebelahnya, membaca judul dan sinopsisnya. Lagi-lagi, aku mengembalikan buku tersebut ke raknya. 

Begitu terus berulang-ulang, sampai pada akhirnya aku melangkahkan kaki keluar toko buku tanpa membawa satu buku pun. 

Entah sudah berapa kali adegan di atas terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya lucu sih. Waktu kecil, salah satu tempat favoritku adalah toko buku. Pokoknya, kalau ke mal, harus ke toko buku; kalau pergi keluar, harus ke toko buku; kalau lagi menunggu jam pemutaran film di bioskop, harus ke toko buku. Begitu terus selama bertahun-tahun. Jenis bacaan yang kubaca juga beragam, mulai dari novel, komik, ensiklopedia, majalah, sampai koran. Sepertinya dulu jenis bacaan apa saja kulahap dengan senang hati. 

Anehnya, ketika aku mulai masuk kuliah, mendadak minat membacaku hilang—lebih tepatnya, aku jadi pemilih soal buku. Setiap kali ke toko buku, aku jarang menemukan buku yang menarik perhatianku—ceritanya terlalu klise lah, sampulnya nggak menarik lah, semacam itu. Ditambah kesibukan kuliah, skripsi, dan mencari kerja setelah lulus, waktu yang kuhabiskan untuk membaca buku jadi jauh berkurang dari sebelumnya. Padahal aku mahasiswa Sastra Inggris, yang berarti aku menghabiskan kehidupan kuliahku dengan banyak membaca karya sastra. 

Nggak hanya jadi pemilih soal buku, aku pun secara nggak sadar berubah jadi seseorang yang suka melakukan book shaming. Iya, mentertawakan dan merendahkan orang hanya karena aku menganggap selera bukunya jelek. Sebenarnya kedua hal itu saling berkaitan, sih. Aku jadi pemilih karena menganggap buku-buku sekarang kurang berkualitas, dan akhirnya merendahkan mereka yang suka membaca buku-buku yang kuanggap kurang tersebut. Pada akhirnya, aku menjadi seseorang yang kurang adventurous dalam menjelajah dunia buku. 

Minatku terhadap buku terus menurun, sampai... bam, awal tahun 2020. 

Pandemi COVID-19 mulai merambat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan memutarbalikkan kehidupan orang-orang seluruhnya. Kita dipaksa untuk beradaptasi dengan kehidupan dan kebiasaan baru: yang biasanya bisa bepergian dengan bebas, sekarang harus menghabiskan waktu di rumah; yang biasanya bisa kumpul-kumpul, sekarang harus menjaga jarak; yang biasanya abai dengan kesehatan, sekarang jadi keranjingan menjaga kebersihan dan kesehatan. Yah, memang bukan hal yang mudah.

Nyaris setahun kemudian, aku baru menyadari kalau pandemi ternyata nggak hanya memaksaku untuk beradaptasi dengan hal baru, tapi juga mengembalikanku ke “akar”-ku sebagai seorang kutu buku.

Entah ini berkah atau bukan, pandemi ini memaksaku untuk mundur sejenak dari kegiatan di luar rumah dan membuatku kembali melirik buku-bukuku yang sudah lama terdiam di rak buku. Kemudian, tahu-tahu saja aku sudah membaca ulang beberapa buku lamaku, di antaranya ketujuh buku Harry Potter yang aku tamatkan hanya dalam hitungan hari. I was a huge Potter fan back then, dan membaca buku-buku tersebut membuatku sedikit bernostalgia sekaligus merasa terhibur karena menenggelamkan diri dalam kisah petualangan Harry Potter ternyata membantuku mengurangi rasa jenuh dan stres gara-gara terlalu lama tinggal di rumah. 

Bosan dengan buku-buku lamaku, aku iseng menelusuri akun Instagram Gramedia Pustaka Utama alias GPU (salah satu penerbit favoritku sejak kecil, hehe) sambil berpikir, siapa tahu ada buku baru yang menarik. Sederhana saja waktu itu: aku hanya ingin mencoba mematahkan pemikiranku sendiri kalau buku-buku sekarang kurang berkualitas dan nggak sebagus dulu.

Saat itu, aku nggak tahu kalau keisenganku bakal berbuntut panjang. Kebiasaanku melihat-lihat akun Instagram GPU membuatku menemukan beberapa hidden gems dalam bentuk buku-buku sastra Asia. Aku jadi sadar kalau selama ini bacaanku hanya terpusat di sastra Barat dan Indonesia. Kalau biasanya aku mengenal kebudayaan Asia lewat manga, K-Pop, dan produk kecantikan mereka, mungkin ini saatnya aku mencoba medium yang berbeda dalam bentuk buku. 

Selain berusaha mengubah sudut pandangku soal buku zaman sekarang, aku juga mencoba untuk membeli buku lewat cara baru: online! Yap, dengan keadaan yang nggak memungkinkan untuk sering-sering keluar, aku jadi lebih banyak menggunakan marketplace untuk berbelanja. Lama-lama, aku sangat menikmati proses berbelanja lewat marketplace ini: ada rasa deg-degan sambil melacak keberadaan paket dan rasa seperti dihadiahi diri sendiri ketika paketnya tiba di rumah. Apalagi, belakangan Gramedia sering sekali memberi promo dan diskon di marketplace, yang tentu saja kumanfaatkan dengan sangat baik untuk memborong buku-buku sastra Asia yang sudah kuincar. 

Sejauh ini, sudah ada empat buku terjemahan Asia yang kutamatkan: Convenience Store Woman, Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982, Pembunuhan Zodiak Tokyo, dan Keajaiban Toko Kelontong Namiya. Semuanya punya cerita yang unik dan memberiku perspektif yang segar dan menarik soal dunia sastra Asia. 

Misalnya, dari Convenience Store Woman dan Kim Ji-yeong, aku mendapat insight soal dunia perempuan di Jepang dan Korea—yang ternyata hampir sama dengan keadaan di sini. Permasalahan yang dihadapi tokoh utama di kedua novel itu pun mirip, tapi cara mereka menghadapi konflik dan masalah yang ada cukup berbeda. Setelah menamatkan kedua novel tersebut, aku jadi berpikir: iya ya, setiap orang punya caranya sendiri dalam menghadapi suatu masalah. Hampir sama dengan pandemi ini sebenarnya. Ada yang cuek, ada yang terpuruk, tapi ada juga yang bisa bangkit. Rasanya aku seperti diingatkan, aku juga nggak boleh terus-terusan merasa tertekan karena pandemi supaya nggak depresi seperti Kim Ji-yeong. Malah, aku ingin bisa cuek dengan keadaan sekitar seperti yang dilakukan Keiko di Convenience Store Woman

Petualanganku menjajal sastra Asia berlanjut ke novel detektif, Pembunuhan Zodiak Tokyo. Harus kuakui, gaya bercerita dalam novel ini menarik banget. Rasanya seperti membaca kisah petualangan Sherlock Holmes, tapi versi Jepang. Memang sih, waktu membaca novel ini kepalaku agak sakit karena harus berpikir ekstra dalam memahami kasus dan penyelesaiannya, tapi akhirnya aku puas banget dengan novel ini. Setidaknya, otakku yang lama nggak “dipanaskan” jadi diajak berpikir agak keras, haha. 

Setelah menyelami kehidupan perempuan Asia dan mengurai misteri pembunuhan di Jepang, aku menutup perjalananku lewat Keajaiban Toko Kelontong Namiya. Kalau ketiga buku sebelumnya menguras emosi dan pikiranku, membaca buku yang satu ini rasanya seperti menyalakan lilin aromaterapi: hangat dan menenangkan. Kisah tentang kakek penjaga toko kelontong yang suka memberi saran tentang permasalahan hidup terdengar seperti cerita yang simpel, tapi ternyata juga kompleks tanpa harus membuatku berpikir keras seperti waktu membaca novel detektif. Pokoknya, novel Toko Kelontong Namiya membuatku kembali percaya bahwa masih ada kebaikan di dunia ini, sesuatu yang rasanya sangat diperlukan di dalam kondisi yang tidak mudah belakangan ini.

Oke, setelah membaca, lalu apa? 

Aku teringat beberapa foto yang sempat kulihat sekilas waktu menelusuri akun Instagram GPU. Foto-foto tersebut kebanyakan berupa foto buku yang sudah diatur sehingga terlihat cantik dan estetik, kemudian dibarengi dengan ulasan singkat buku tersebut di caption-nya. Oh, kenapa nggak mencoba mengulas buku saja? Begitu pikirku. Aku juga sudah punya blog sendiri, jadi pasti review buku bakal jadi tambahan konten yang menarik! 

Perkara nge-blog soal buku jadi “buntut” selanjutnya yang muncul sejak aku mengikuti akun Instagram GPU. Setelah menamatkan buku-buku sastra Asia tadi, aku mencoba untuk mengasah kemampuan menulisku lewat review buku. Kalau dipikir-pikir, waktu kuliah aku juga sudah terbiasa mengulas dunia sastra, jadi harusnya me-review buku nggak sesulit itu. 

Ternyata, seperti dugaanku, mengulas buku itu menyenangkan! Nggak hanya mengasah kemampuan menulis, tapi aku juga bisa melatih kemampuan fotografiku, khususnya foto produk. Karena aku tidak punya peralatan fotografi yang mumpuni, aku harus memutar otak dengan menggunakan barang-barang di sekitarku sebagai properti foto. Selain itu, aku juga harus pandai-pandai memanfaatkan matahari sebagai sumber pencahayaan dalam fotoku. Menurutku, asalkan kita pintar mengatur komposisi, pasti foto yang kita hasilkan bakal terlihat bagus walaupun dengan peralatan seadanya. Pemikiranku terbukti benar: foto-foto buku yang kujepret untuk blog terlihat lumayan untuk menemani review-ku! 

Pada akhirnya, kalau aku ingat-ingat kembali, keputusanku untuk mematahkan pemikiranku sendiri ternyata tepat. Aku hanya nggak menyangka kalau keisenganku mencari buku baru pada saat itu ternyata berujung pada banyak hal: membeli buku secara online, mendapat perspektif segar lewat buku-buku baru, mencoba mengulas buku, belajar cara memotret buku yang bagus... intinya, bisa dibilang kalau aku akhirnya kembali menjadi kutu buku—yang ternyata sangat membantuku untuk bertahan dan beradaptasi di masa yang sulit ini.

Aku seperti disadarkan kembali bahwa membaca buku itu memang sebuah pengalaman yang menyenangkan dan bisa meninggalkan kesan yang dalam. Keempat novel sastra Asia tadi contohnya, membuka mataku kalau masih ada banyak buku berkualitas di luar sana yang belum sempat aku baca. Aku jadi punya pemikiran baru bahwa buku-buku sekarang masih sama bagusnya dengan dulu, bahkan mulai bervariasi. Malah, mengeksplor buku-buku baru itulah bagian yang seru.

Menurutku, nggak ada salahnya mencoba untuk beradaptasi dengan pola pikir yang baru, selama itu menjadikanmu orang yang lebih baik. Salah satu sahabatku pernah bilang, self-love is not only about pampering yourself, but also letting yourself grow. Mencintai diri sendiri nggak hanya perkara memanjakan dirimu sendiri, tapi juga membiarkan dirimu berkembang. Kurasa aku baru benar-benar memahami perkataannya sekarang, setelah semua hal yang kutuliskan sebelumnya. Keberadaan buku-buku membantuku untuk tumbuh dan berkembang, dari dulu hingga sekarang.

Sampai saat ini pun, aku masih berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik, menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Walaupun mungkin aku belum sampai ke tahap itu, perjalanan menuju hal tersebut juga penting, ya kan? The journey is what matters. And I thank my books for accompanying me during that journey. 

Ah, jadi nggak sabar ingin menebus wishlist buku yang sudah menumpuk!

(ditulis sebagai partisipasi dalam Sayembara Kreatif GPU: Aku, Buku, dan Perjalanan Beradaptasiku)

You May Also Like

0 comments